Jumat, 27 April 2012

Bakal Purba/ Pa Mbelgah Purba (Tulisan Rev. Mehamat Wijaya Tarigan, M.Th.)

          Pada bulan Nopember 1911 Bakal Purba/ Pa Mbelgah Purba (seorang raja di Kabanjahe) dibaptis bersama istri dan anak-anaknya oleh Pdt. E.J. van den Berg. Sebelumnya Pa Mbelgah sudah belajar tentang agama Kristen selama satu tahun. Pdt. E.J. van den Berg yang langsung mengajarinya.  Tidak lama setelah pembaptisannya itu, dia dikeluarkan dari gereja karena Pdt. E.J. van den Berg melarang Bapak dari Mbelgah Purba memakai gendang Karo. Sebagai seorang pemimpin masyarakat, Pa Mbelgah Purba harus memakai gendang Karo dalam acara-acara di tengah-tengah masyarakat Karo.
            Pdt. Anggapen Ginting Suka mengatakan bahwa desa Kabanjahe pada tahun 1900-an berpenduduk mayoritas bermarga Purba dan Sembiring Brahmana. Dua tokoh dari desa itu yaitu Pa Mbelgah/ Bakal Purba dan Pa Pelita Purba. Kedua tokoh ini dikenal sebagai panglima yang memenangkan peperangan antar desa yang sering terjadi pada masa itu. Tapi kemenangan yang diperoleh tidak berdampak pada perluasan daerah kekuasaan, hanya terbatas kepada ketersohoran keperkasaan dalam peperangan.[1]
            Atas kemenangan-kemenangannya maka desa Kabanjahe dan semua marga Purba yang berasal dari desa ini selalu disanjung masyarakat Karo. Menurut Pdt. E.J. van den Berg, marga Purba yang berasal dari kabanjahe merasa dirinya anak raja. Sikap ini menurut Pdt. E.J. van den Berg membuat anak desa Kabanjahe tidak suka pekerjaan yang dianggapnya merendahkan martabatnya sebagai anak raja.[2]
            Atas dorongan Pa Mbelgah kepada Pdt. E.J. van den Berg untuk segera mendirikan sekolah. Dia sendiri menyediakan bambu dan kayu-kayu untuk bangunan dan bangku bangku-bangku sekolah. Keinginan untuk membuka sekolah ini sudah disampaikannya sewaktu Pdt. H.C. Kruyt mengunjungi Kabanjahe pada akhir tahun 1890. Maksud itu barulah tercapai pada akhir tahun 1905.
            Menurut Pdt. E.J. van den Berg, pada awalnya ia tidak berusaha mendekati Pa Mbelgah sebab ia khawatir masyarakat Karo menyamakan dirinya dengan Pa Mbelgah, yaitu tokoh perang. Atas alasan ini Pdt. E.J. van den Berg tidak mengidentifikasikan diri dengan memakai merga Purba tapi merga Sinulingga dan bebere Perangin-angin.[3]
            Merga Sinulingga adalah merga Sibayak Lingga yang pada waktu itu dianggap rakyat Karo sebagai raja utama. Pdt. E.J. van den Berg tidak mengandalkan wibawa raja tersebut untuk pekerjaanya sebagai Zendeling. Ia langsung berbaur dengan masyarakat melalui pembangunan sekolah yang pertama di Kabanjahe pada tahun 1906. Pa Mbelgah meyumbangkan kayu dan bambu untuk sekolah tersebut. Pdt. E.J. van den Berg mengunjungi orang Karo di ladang-ladang mereka seperti dalam acara menabur benih, ngerik (padi dipijak-pijak) atau melepas padi dari tangkainya. Dalam kunjungan-kunjungan tersebut ia dan istrinya membawa ikan sardencis sebagai oleh-oleh. Pendekatan Pdt. E.J. van den Berg terhadap masyarakat Karo tidak melalui tokoh masyarkat yang ada tapi langsung kepada masyarakat umumya yaitu melalui sekolah. Ada 2 Kemungkinan yang dapat dicapai yaitu anak-anak dan orangtuanya.[4]
      Sewaktu Pdt. E.J. van den Berg telah tinggal di Kabanjahe, ia tidak begitu ramah terhadap Sebayak Pa Mbelgah. Ia takut disamakan orang dengan kepanglimaan Pa Mbelgah. Namun Pa Mbelgah turut mengikuti katekisasi selama 2 tahun. Seperti orang Karo lainya Pa Mbelgah juga lebih banyak tertarik pada etika Kristen dari pada isi iman Kristen. Pada upacara setelah pembabtisnnya, ia mengatakan bahwa ia menyesali segala tindakan kekerasan yang telah ia lakukan pada waktu-waktu yang lalu dan ia tidak akan lagi mengulangi perbuatan yang sama sejak pembaptisannya. Ia berjanji untuk mengikuti kehendak Tuhan yang telah dipelajarinya tentang kepercayaan. Ia berkata dalam suatu upacara permulaan merdang (menanam benih), bahwa tidak ada kuasa lain yang membuat padi yang kita taburkan (erdangken) atau tanam bertumbuh baik kecuali oleh Allah yang adalah pencipta dan pemelihara segala sesuatu.[5]
Dengan ungkapan ini, ia telah memahami bahwa Allah itu Esa yang hanya kepadanya hidup kita tergantung. Agaknya ia bersama-sama dengan orang-orang yang dibaptiskan lainnya belum sampai kepada pemahaman tentang kuasa Roh Kudus dan kuasaNya dan tentang penebusan. Tapi suatu hal yang ia tidak dapat hindarkan adalah kebersamaan dengan kerabat dekat ataupun kaum satu desa. Mereka merasa berkewajiban mengadakan ritus-ritus keagamaan demi kesejahteraan mereka seperti ritus perumah begu atau memanggil roh orang sudah mati, upacara erpangir ku lau (ke sungai), upacara pengganti dan lain-lain. Dalam acara keagamaan, orang Karo melakukannya menurut tatanan adat sehingga dalam acara-acara tersebut unsur kekeluargaan secara lengkap harus hadir.[6]
Pa Mbelgah sebagai sibayak dan dan sebagai bagian yang terikat kepada sistem kekeluargaan selalu merasa wajib menghadiri upacara itu. Pada suatu upacara penaburan benih yang diadakan gereja yang juga dihadiri anak-anak desa yang belum beragama, ia berbicara dan mengatakan bahwa hasil ladang bukan oleh roh-roh nenek moyang tapi oleh kuasa Allah saja. Gereja memperingatinya agar ia tidak ikut lagi dalam upacara itu. Tapi ia merasa wajib ikut serta dalam upacara agama yang berproses menurut adat. Akhirnya pada tahun 1913 ia ipedauh atau dijauhkan sementara dari gereja. Pada tahun 1914 kedudukannya di gereja dipulihkan kembali. Tetapi pada tahun 1918 ia kembali dikeluarkan dari gereja (ipedauh) oleh kesalahan yang sama, dan akhirnya ia meninggal dunia pada tahun itu juga. Ia dikuburkan tanpa liturgi gerejawi. Pendeta yang melayani di Kabanjahe sewaktu Pa Mbelgah dikeluarkan dari gereja (ipedauh) pada tahun 1913 – 1915 adalah Pdt. J.P. Talens, sebab Pdt. E.J. van den Berg sedang cuti di tanah Belanda. Gereja bertindak mengeluarkan Pa Mbelgah dari gereja adalah menurut Hukum atau Disiplin Gereja pada saat itu. Tetapi disiplin yang dijalankan adalah disiplin yang belum dimengerti anggota jemaat dan masyarakat .[7]
            Misionaris menganggap bahwa di dalam gendang Karo terdapat unsur kekafiran..[8] Memang misionaris NZG membawa teologia pietisme dari Eropa ke Tanah Karo dan mereka sulit menerima Gendang Karo pada saat itu.[9] Usaha-usaha pekabaran Injil pada saat itu diwarnai oleh teologia Pietisme. Teologia ini lahir di Eropa, pada akhir abad ke-17, sebagai reaksi terhadap situasi dalam gereja-gereja Protestan. Menurut Pietisme, menerima Kristus hanya dapat terjadi melalui pertobatan pribadi, yang menjadi nyata dalam perubahan cara hidup. Peningkatan taraf kehidupan melalui pendidikan dan terutama melalui usaha memperkenalkan Kristus sehingga sebanyak mungkin orang bertobat, ini merupakan jalan untuk memberantas keburukan dalam masyarakat dan gereja. Usaha penerjemahan Alkitab harus dilakukan agar Injil lebih mudah disampaikan bagi penerimanya.[10]
            Usaha pekabaran Injil oleh Pietisme sering mengalami ”Culture Shock” pada waktu mereka tiba di lapangan. Akibatnya mereka sering menganggap kebudayaan setempat biadab dan penuh penyembahan berhala. Akhirnya mereka mendidik masyarakat setempat dengan kebudayaan Barat. Oleh sebab itu masyarakat yang tidak beragama Kristen sering menyebut agama Kristen sebagai agama Belanda. Selain itu warisan kebudayaan dari nenek moyang masyarakat yang beragama Kristen dikorbankan secara radikal. Kebudayaan setempat dianggap ”kafir”.[11] Orang-orang pribumi juga pada akhirnya segan membawa kebudayaan mereka masuk ke dalam gereja.


[1] Pdt. Anggapen Ginting Suka, Wawancara, pada hari Sabtu, 19 Juni 2010 jam 10.00 – 13.00 WIB di Jl. Pasar Baru, Medan.
[2] Ibid., Wawancara, pada hari Sabtu, 19 Juni 2010 jam 10.00 – 13.00 WIB di Jl. Pasar Baru, Medan.  
[3] Ibid., Wawancara, pada hari Sabtu, 19 Juni 2010 jam 10.00 – 13.00 WIB di Jl. Pasar Baru, Medan.  
[4] Ibid., Wawancara, pada hari Sabtu, 19 Juni 2010 jam 10.00 – 13.00 WIB di Jl. Pasar Baru, Medan.
[5] Ibid., Wawancara, pada hari Sabtu, 19 Juni 2010 jam 10.00 – 13.00 WIB di Jl. Pasar Baru, Medan.
[6] Ibid., Wawancara, pada hari Sabtu, 19 Juni 2010 jam 10.00 – 13.00 WIB di Jl. Pasar Baru, Medan.
[7] Ibid., Wawancara, pada hari Sabtu, 19 Juni 2010 jam 10.00 – 13.00 WIB di Jl. Pasar Baru, Medan.
[8] Frank L. Cooley, .Benih Yang Tumbuh 4: GBKP,Jakarta: LPDSGI, .,1976,  hlm. 5
[9] Simon Rae, Breath becomes the wind: old and new in Karo religion, University of Otago Press, 1994, hlm. 94
[10] Christiaan de Jonge, Kontekstualisasi Sebagai Sejarah, Pidato Dies Natalis ke 25 STT Jakarta, Jakarta: STT Jakarta, 1986, hlm. 35
[11] Ibid., hlm. 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar