Jumat, 05 September 2014

Foolishness to the Greeks By Lesslie Newbigin



Yang menjadi tujuan Lesslie dalam buku ini adalah untuk mengkaji apa-apa saja yang akan terlibat dalam pertemuan misionari sejati dalam membahas antara injil dan kebudayaan yang ada dalam pemikiran masyarakat Eropa maupun masyarakat Amerika Utara, cabang-cabang kolonial dan kebudayaan mereka, dan kumpulan para pemimpin berpendidikan yang semakin meningkat di kota-kota dunia – kebudayaan yang sama-sama kita miliki biasanya dideskripsikan sebagai “modern”. Fenomena ini biasanya disebut “modernisasi”, yang dipromosikan di banyak Dunia Ketiga melalui universitas dan network pelatihan teknis, perusahaan-perusahaan multinasional dan media, ternyata merupakan opsi-bersamaan kepemimpinan dari negara-negara dalam kebudayaan tertentu yang berasal-muasal pada masyarakat Eropa barat. Untuk sementara, dan seraya menunggu kajian yang lebih cermat akan hal ini, saya cukup menyebutnya “kebudayaan Barat modern”.
            Lesslie mendekati studi melalui sudut pandang misionaris asing. Setelah menghabiskan sebagian besar hidupbya sebagai misionaris di India, dia terpanggil untuk mengajar missiologi dan kemudian menjadi misionaris di daerah pusat kota tipikal di Inggris. Peran ini memaksanya untuk mengajukan pertanyaan yang dia ajukan sebagai tema buku ini: Apa yang akan terlibat dalam pertemuan misionari antara injil dan cara seutuhnya mempersepsikan, memikirkan dan mengamalkan apa yang kita sebut sebagai “kebudayaan Barat modern”? Tentu saja tidak ada yang baru dalam membahas hubungan antara injil dan kebudayaan. Kita mempunyai studi klasik Richard Niebuhr tentang lima model hubungan dalam bukunya Christ and Culture. Kita mempunyai studi raksasa Paul Tillich, yang sangat begitu fokus pada apa yang ia sebut, dalam judul kuliah publik pertamanya, “theologia kebudayaan”. Tetapi studi ini pada pokoknya dilaksanakan, sepanjang yang dia ketahui, oleh para theolog yang tidak berpengalaman sebagai ujung tombak kebudayaan, pengalaman yang berusaha menyalurkan injil dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang sangat berbeda.
            Di lain pihak, kita mempunyai banyak sekali studi oleh misionaris
tentang isu-isu theologia yang diangkat oleh misi lintas-budaya. Karena para misionaris Barat sama-sama mengalami kebangkitan umum keyakinan pada kebudayaan Barat modern, mereka jadinya lebih menyadari fakta bahwa dalam presentasi injil mereka sering keliru menyamakan persepsi-persepsi yang terkondisi secara kultural dengan substansi injil, dan dengan demikian salah mengklaim otoritas ilahi untuk relativitas satu kebudayaan.
            Bagi sebagian kalangan di sayap liberal dari Protestan, seperti W.E. Hocking, misi Kristen hampir terserap ke dalam penyebaran kebudayaan Barat di seluruh dunia, dan ini cukup eksplisit. Tetapi mereka yang ada di ujung spektrum yang berseberangan, evangelical konservatif, sering tidak menyadari pengkondisian budaya atas agama mereka dan karenanya bersalah, seperti yang sekarang diakui oleh banyak dari antara mereka, mengacaukan injil dengan nilai-nilai cara hidup Amerika tanpa menyadari apa yang sedang mereka lakukan. Dalam beberapa dekade terakhir tulisan misionaris tentang masalah kontekstualisasi tumbuh menjamur. Ini disebut dengan istilah indigenization dan adaptasi, yang jauh sebelumnya digunakan masing-masing oleh kalangan Protestan dan Katholik. Kelemahan dari yang disebut pertama adalah bahwa itu cenderung mengkaitkan pesan Kristen dengan bentuk-bentuk kebudayaan tradisional – bentuk-bentuk yang merupakan milik masa lalu dan dari mana orang-orang muda berpaling di bawah pengaruh “modernisasi” yang sangat meresap dalam kehidupannya. Efeknya adalah mengidentifikasikan injil dengan elemen-elemen konservatif di dalam masyarakat. Kelemahan dari bentuk yang disebut terakhir, adaptasi, adalah bahwa dinyatakan secara tidak langsung bahwa apa yang diusung misionaris adalah injil murni, yang harus diadaptasikan dengan kebudayaan penerima. Ini cenderung mengaburkan fakta bahwa injil sebagaimana terwujud dalam pengajaran dan praktek misionaris sudah merupakan injil yang diadaptasikan, yang dibentuk oleh kebudayaannya sendiri. Arti penting dari kata kontekstualisasi adalah bahwa ini mengisyaratkan penempatan injil dalam konteks total suatu kebudayaan pada momen tertentu, momen yang dibentuk oleh masa lalu dan menatap di masa depan.
            Akan tetapi, kelemahan dari keseluruhan tulisan missiologis ini adalah bahwa walaupun tulisan ini berusaha mengeksplorasi masalah-masalah kontekstualisasi dalam semua kebudayaan manusia dari China hingga Peru, tulisan ini sebagian besar mengabaikan kebudayaan yang paling tersebar luas, kuat dan persuatif dari antara semua kebudayaan kontemporer – yaitu, apa yang kita sebut kebudayaan Barat modern. Selain itu, kelalaian ini bahkan lebih serius karena kebudayaan inilah yang, lebih dari hampir semua kebudayaan lainnya, terbukti menentang injil. Di wilayah-wilayah besar Asia, Afrika dan Oceania, gereja terus bertumbuh dan bahkan bertumbuh secara spektakuler. Tetapi di bidang yang didominasi oleh kebudayaan Barat modern (apakah itu dalam ekspresi politik kapitalis atau sosialis) gereja menyusut dan injil tampaknya jatuh di telinga-telinga yang tuli. Karena itu, tampak bahwa tidak ada prioritas yang lebih tinggi untuk studi penelitian missiolog daripada mengajukan pertanyaan tentang apa yang akan terlibat dalam pertemuan misionaris sejati antara injil dan kebudayaan Barat modern ini. Atau, dengan meletakkan permasalahannya dengan cara yang sedikit berbeda, bisakah pengalaman misionaris dalam penyebaran injil lintas-budaya dan kajian para theolog yang meneliti tentang pertanyaan soal injil dan kebudayaan dalam batas-batas kebudayaan Barat modern kita ada gunanya dipadukan untuk menegaskan isu pokok yang diajukannya?
            Dengan kata kebudayaan haruslah kita pahami sebagai total keseluruhan cara-cara hidup yang dikembangkan oleh sekelompok manusia dan diturunkan dari generasi ke generasi. Yang sangat penting untuk kebudayaan ini adalah bahasa. Bahasa masyarakat memberikan cara dengan mana mereka mengungkapkan cara mereka mempersepsikan segala sesuatu dan mengatasinya. Di seputar titik pusat tersebut orang harus mengumpulkan seni visual dan musikal mereka, teknologi mereka, hukum mereka dan organisasi sosial dan politik mereka. Dan orang juga harus memasukkan dalam kebudayaan, dan sebagai hal yang mendasar untuk setiap kebudayaan, serangkaian keyakinan, pengalaman dan praktek yang berusaha memahami dan mengekspresikan sifat utama dari segala sesuatu, yang akan memberikan bentuk dan arti bagi kehidupan, yang akan mengklaim loyalitas final. Lesslie, jelas, berbicara tentang agama. Dengan demikian, agama – termasuk agama Kristen – merupakan bagian dari kebudayaan.
            Dalam berbicara tentang “injil”, Lesslie mengacu kepada pengumuman bahwa dalam serangkaian kejadian yang berpusat pada kehidupan, pelayanan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus terjadi sesuatu yang mengubah situasi total manusia dan karenanya harus mempertanyakan setiap kebudayaan manusia. Sekarang jelas pengumuman ini sendiri telah terkondisi secara kultural. Ini tidak turun dari sorga atau melalui mulut malaikat. Kata Yesus Kristus (Jesus Christ) adalah terjemahan bahasa Yunani dari nama dan gelar Ibrani, Joshua the Messiah. Kata ini termasuk dalam dan merupakan bagian dari kebudayaan salah satu bagian dunia – Mediterania timur – di suatu titik sejarah saat bahasa Yunani merupakan bahasa internasional yang paling tersebar luas di pulau-pulau sekitar Laut Mediterania. Baik pada permulaan, maupun dalam waktu selanjutnya, tidak ada dan tidak bisa ada injil yang tidak terwujudkan dalam bentuk kata-kata yang terkondisikan secara kultural. Ide bahwa orang bisa atau dapat suatu waktu memisahkan melalui proses distilasi injil murni yang tidak dicampuri oleh imbuhan-imbuhan budaya adalah suatu illusi. Ternyata, itu merupakan pembuangan injil, karena injil adalah soal Firman yang menjadi daging. Setiap pernyataan injil dalam kata-kata dikondisikan oleh kebudayaan di mana kata-kata tersebut merupakan bagiannya, dan setiap gaya hidup yang mengklaim mengejawantahkan kebenaran injil adalah gaya hidup yang terkondisikan secara kultural. Takkan pernah bisa ada injil yang bebas-budaya. Namun injil, yang sejak awal hingga akhir terwujud dalam bentuk-bentuk yang terkondisi secara kultural, yang mempertanyakan seluruh kebudayaan, termasuk kebudayaan di dalam mana injil tersebut awalnya terwujudkan.
            Apa yang dia harapkan untuk disampaikan dalam buku ini adalah sebagai berikut: pertama, untuk membahas pada umumnya isu-isu yang diangkat oleh komunikasi injil lintas-budaya; kedua, untuk mengkaji ciri-ciri penting dari kebudayaan Barat modern, Ketiga, untuk menghadapi pertanyaan penting tentang bagaimana otoritas alkitabiah bisa menjadi realitas bagi mereka yang dibentuk oleh kebudayaan Barat modern; keempat, untuk menanyakan apa yang akan terlibat dalam pertemuan injil dengan kebudayaan Barat dengan mengacu kepada inti intelektual dari kebudayaan Barat, yaitu sains; kelima, untuk mengajukan pertanyaan yang sama berkenaan dengan politik Barat; dan terakhir, untuk menyelidiki tentang tugas gereja dalam mewujudkan pertemuan ini.