Yang menjadi
tujuan Lesslie dalam buku ini adalah untuk mengkaji apa-apa saja yang akan
terlibat dalam pertemuan misionari sejati dalam membahas antara injil dan kebudayaan
yang ada dalam pemikiran masyarakat Eropa maupun masyarakat Amerika Utara,
cabang-cabang kolonial dan kebudayaan mereka, dan kumpulan para pemimpin
berpendidikan yang semakin meningkat di kota-kota dunia – kebudayaan yang
sama-sama kita miliki biasanya dideskripsikan sebagai “modern”. Fenomena ini
biasanya disebut “modernisasi”, yang dipromosikan di banyak Dunia Ketiga
melalui universitas dan network pelatihan teknis, perusahaan-perusahaan
multinasional dan media, ternyata merupakan opsi-bersamaan kepemimpinan dari
negara-negara dalam kebudayaan tertentu yang berasal-muasal pada masyarakat
Eropa barat. Untuk sementara, dan seraya menunggu kajian yang lebih cermat akan
hal ini, saya cukup menyebutnya “kebudayaan Barat modern”.
Lesslie mendekati studi melalui
sudut pandang misionaris asing. Setelah menghabiskan sebagian besar hidupbya sebagai
misionaris di India, dia
terpanggil untuk mengajar missiologi dan kemudian menjadi misionaris di daerah
pusat kota
tipikal di Inggris. Peran ini memaksanya untuk mengajukan pertanyaan yang dia
ajukan sebagai tema buku ini: Apa yang akan terlibat dalam pertemuan misionari
antara injil dan cara seutuhnya mempersepsikan, memikirkan dan mengamalkan apa
yang kita sebut sebagai “kebudayaan Barat modern”? Tentu saja tidak ada yang
baru dalam membahas hubungan antara injil dan kebudayaan. Kita mempunyai studi
klasik Richard Niebuhr tentang lima
model hubungan dalam bukunya Christ and
Culture. Kita mempunyai studi raksasa Paul Tillich, yang sangat begitu
fokus pada apa yang ia sebut, dalam judul kuliah publik pertamanya, “theologia
kebudayaan”. Tetapi studi ini pada pokoknya dilaksanakan, sepanjang yang dia
ketahui, oleh para theolog yang tidak berpengalaman sebagai ujung tombak
kebudayaan, pengalaman yang berusaha menyalurkan injil dari satu kebudayaan ke
kebudayaan yang sangat berbeda.
Di lain pihak, kita mempunyai banyak
sekali studi oleh misionaris
tentang isu-isu theologia yang diangkat oleh misi
lintas-budaya. Karena para misionaris Barat sama-sama mengalami kebangkitan
umum keyakinan pada kebudayaan Barat modern, mereka jadinya lebih menyadari
fakta bahwa dalam presentasi injil mereka sering keliru menyamakan
persepsi-persepsi yang terkondisi secara kultural dengan substansi injil, dan
dengan demikian salah mengklaim otoritas ilahi untuk relativitas satu
kebudayaan.
Bagi sebagian kalangan di sayap
liberal dari Protestan, seperti W.E. Hocking, misi Kristen hampir terserap ke
dalam penyebaran kebudayaan Barat di seluruh dunia, dan ini cukup eksplisit.
Tetapi mereka yang ada di ujung spektrum yang berseberangan, evangelical
konservatif, sering tidak menyadari pengkondisian budaya atas agama mereka dan
karenanya bersalah, seperti yang sekarang diakui oleh banyak dari antara
mereka, mengacaukan injil dengan nilai-nilai cara hidup Amerika tanpa menyadari
apa yang sedang mereka lakukan. Dalam beberapa dekade terakhir tulisan
misionaris tentang masalah kontekstualisasi
tumbuh menjamur. Ini disebut dengan istilah indigenization
dan adaptasi, yang jauh sebelumnya
digunakan masing-masing oleh kalangan Protestan dan Katholik. Kelemahan dari
yang disebut pertama adalah bahwa itu cenderung mengkaitkan pesan Kristen
dengan bentuk-bentuk kebudayaan tradisional – bentuk-bentuk yang merupakan
milik masa lalu dan dari mana orang-orang muda berpaling di bawah pengaruh
“modernisasi” yang sangat meresap dalam kehidupannya. Efeknya adalah
mengidentifikasikan injil dengan elemen-elemen konservatif di dalam masyarakat.
Kelemahan dari bentuk yang disebut terakhir, adaptasi, adalah bahwa dinyatakan secara tidak langsung bahwa apa
yang diusung misionaris adalah injil murni, yang harus diadaptasikan dengan
kebudayaan penerima. Ini cenderung mengaburkan fakta bahwa injil sebagaimana
terwujud dalam pengajaran dan praktek misionaris sudah merupakan injil yang
diadaptasikan, yang dibentuk oleh kebudayaannya sendiri. Arti penting dari kata
kontekstualisasi adalah bahwa ini
mengisyaratkan penempatan injil dalam konteks total suatu kebudayaan pada momen
tertentu, momen yang dibentuk oleh masa lalu dan menatap di masa depan.
Akan tetapi, kelemahan dari
keseluruhan tulisan missiologis ini adalah bahwa walaupun tulisan ini berusaha
mengeksplorasi masalah-masalah kontekstualisasi dalam semua kebudayaan manusia
dari China hingga Peru, tulisan ini sebagian besar mengabaikan kebudayaan yang
paling tersebar luas, kuat dan persuatif dari antara semua kebudayaan kontemporer
– yaitu, apa yang kita sebut kebudayaan Barat modern. Selain itu, kelalaian ini
bahkan lebih serius karena kebudayaan inilah yang, lebih dari hampir semua
kebudayaan lainnya, terbukti menentang injil. Di wilayah-wilayah besar Asia,
Afrika dan Oceania, gereja terus bertumbuh dan
bahkan bertumbuh secara spektakuler. Tetapi di bidang yang didominasi oleh
kebudayaan Barat modern (apakah itu dalam ekspresi politik kapitalis atau
sosialis) gereja menyusut dan injil tampaknya jatuh di telinga-telinga yang
tuli. Karena itu, tampak bahwa tidak ada prioritas yang lebih tinggi untuk
studi penelitian missiolog daripada mengajukan pertanyaan tentang apa yang akan
terlibat dalam pertemuan misionaris sejati antara injil dan kebudayaan Barat
modern ini. Atau, dengan meletakkan permasalahannya dengan cara yang sedikit
berbeda, bisakah pengalaman misionaris dalam penyebaran injil lintas-budaya dan
kajian para theolog yang meneliti tentang pertanyaan soal injil dan kebudayaan
dalam batas-batas kebudayaan Barat modern kita ada gunanya dipadukan untuk
menegaskan isu pokok yang diajukannya?
Dengan kata kebudayaan haruslah kita pahami sebagai total keseluruhan cara-cara
hidup yang dikembangkan oleh sekelompok manusia dan diturunkan dari generasi ke
generasi. Yang sangat penting untuk kebudayaan ini adalah bahasa. Bahasa
masyarakat memberikan cara dengan mana mereka mengungkapkan cara mereka
mempersepsikan segala sesuatu dan mengatasinya. Di seputar titik pusat tersebut
orang harus mengumpulkan seni visual dan musikal mereka, teknologi mereka,
hukum mereka dan organisasi sosial dan politik mereka. Dan orang juga harus
memasukkan dalam kebudayaan, dan sebagai hal yang mendasar untuk setiap
kebudayaan, serangkaian keyakinan, pengalaman dan praktek yang berusaha memahami
dan mengekspresikan sifat utama dari segala sesuatu, yang akan memberikan
bentuk dan arti bagi kehidupan, yang akan mengklaim loyalitas final. Lesslie,
jelas, berbicara tentang agama. Dengan demikian, agama – termasuk agama Kristen
– merupakan bagian dari kebudayaan.
Dalam berbicara tentang “injil”, Lesslie
mengacu kepada pengumuman bahwa dalam serangkaian kejadian yang berpusat pada
kehidupan, pelayanan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus terjadi sesuatu
yang mengubah situasi total manusia dan karenanya harus mempertanyakan setiap
kebudayaan manusia. Sekarang jelas pengumuman ini sendiri telah terkondisi
secara kultural. Ini tidak turun dari sorga atau melalui mulut malaikat. Kata Yesus Kristus (Jesus Christ) adalah
terjemahan bahasa Yunani dari nama dan gelar Ibrani, Joshua the Messiah. Kata ini termasuk dalam dan merupakan bagian
dari kebudayaan salah satu bagian dunia – Mediterania timur – di suatu titik
sejarah saat bahasa Yunani merupakan bahasa internasional yang paling tersebar
luas di pulau-pulau sekitar Laut Mediterania. Baik pada permulaan, maupun dalam
waktu selanjutnya, tidak ada dan tidak bisa ada injil yang tidak terwujudkan
dalam bentuk kata-kata yang terkondisikan secara kultural. Ide bahwa orang bisa
atau dapat suatu waktu memisahkan melalui proses distilasi injil murni yang
tidak dicampuri oleh imbuhan-imbuhan budaya adalah suatu illusi. Ternyata, itu
merupakan pembuangan injil, karena injil adalah soal Firman yang menjadi
daging. Setiap pernyataan injil dalam kata-kata dikondisikan oleh kebudayaan di
mana kata-kata tersebut merupakan bagiannya, dan setiap gaya
hidup yang mengklaim mengejawantahkan kebenaran injil adalah gaya hidup yang terkondisikan secara
kultural. Takkan pernah bisa ada injil yang bebas-budaya. Namun injil, yang
sejak awal hingga akhir terwujud dalam bentuk-bentuk yang terkondisi secara
kultural, yang mempertanyakan seluruh kebudayaan, termasuk kebudayaan di dalam
mana injil tersebut awalnya terwujudkan.
Apa yang dia harapkan untuk
disampaikan dalam buku ini adalah sebagai berikut: pertama, untuk membahas pada
umumnya isu-isu yang diangkat oleh komunikasi injil lintas-budaya; kedua, untuk
mengkaji ciri-ciri penting dari kebudayaan Barat modern, Ketiga, untuk menghadapi
pertanyaan penting tentang bagaimana otoritas alkitabiah bisa menjadi realitas
bagi mereka yang dibentuk oleh kebudayaan Barat modern; keempat, untuk
menanyakan apa yang akan terlibat dalam pertemuan injil dengan kebudayaan Barat
dengan mengacu kepada inti intelektual dari kebudayaan Barat, yaitu sains;
kelima, untuk mengajukan pertanyaan yang sama berkenaan dengan politik Barat;
dan terakhir, untuk menyelidiki tentang tugas gereja dalam mewujudkan pertemuan
ini.