Sabtu, 28 April 2012

PERATURAN POKOK TENTANG KEPEGAWAIAN DI UNIT PELAYANAN GBKP


SURAT KEPUTUSAN
---------------------------------
No. :   0104/VIII-c/2011

PERATURAN POKOK TENTANG KEPEGAWAIAN DI UNIT PELAYANAN GBKP

Menimbang :
  1. Bahwa peraturan kepersonaliaan di lingkungan Moderamen telah ditetapkan pada sidang Sidang Kerja Sinode tahun 2008 dan pada sidang tersebut diusulkan agar peraturan kepersonaliaan terhadap unut-unit pelayanan di GBKP perlu di atur dan ditetapkan
  2. Bahwa selama ini aturan kepersonaliaan di lingkungan unit pelayanan GBKP diatur secara tersendiri tanpa ada peraturan pokok yang ditetapkan oleh Moderamen.
  3. Bahwa untuk ketertiban dan keseragaman dan merupakan payung hukum bagi pimpinan unit-unit pelayanan GBKP dipandang perlu ditetapkan pedoman aturan pokok tentang kepegawaian di lingkungan unit pelayanan GBKP yang ditetapkan dalam suatu peraturan tersendiri.
  4. Bahwa peraturan ini dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan kerja dan hubungan kerja antara pimpinan unit dengan pegawai dan sesama pegawai.

Mengingat :
  1. Tata Gereja GBKP BAB VI Pasal 40 dan Pasal 41
  2. Keputusan Sidang Kerja Sinode Tanggal 16 s/d 19 April 2008 BAB VI Bidang personalia Butir 6
  3. Keputusan Sidang Moderamen tanggal 01 Oktober 2009
  4. Keputusan Sidang Program Dan Keuangan tanggal 22-24 Oktober 2009
  5. Peraturan Personalia GBKP ( Pengadaan, Pengangkatan, Penetapan Golongan/Ruang, Gaji dan Studi Lanjut.
  6. Keputusan Sidang Sinode GBKP ke 34 tanggal 11-18 April 2010

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN POKOK TENTANG   KEPEGAWAIAN DI UNIT PELAYANAN GBKP

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan ini dimaksud dengan :
  1. Gereja Batak Karo Protestan adalah Lembaga Keagamaan yang berbadan hukum merupakan wujud Gereja yang Esa, Kudus dan Am, selanjutnya disebut GBKP.
  2. Moderamen GBKP adalah Badan Pekerja Moderamen/Sinode, Selanjutnya disebut Moderamen.






  1. Personalia adalah orang yang dipekerjakan untuk melakukan suatu pekerjaan dalam suatu Unit Pelayanan tertentu dan bekerja dalam batas waktu yang ditentukan  selanjutnya disebut Pegawai.
  2. Unit Pelayanan GBKP adalah Unit Pelayanan di luar Personalia Moderamen (Pendeta dan Personalia Moderamen termasuk Personalia Klasis)
  3. Pimpinan Unit Pelayanan GBKP adalah Pimpinan yang diangkat/dipilih oleh Moderamen.
  4. Perjanjian Kerja adalah Perjanjian antara Pegawai dengan Pimpinan Unit yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak selanjutnya disebut PK
  5. Surat Perintah Kerja adalah surat yang memuat rincian aturan-aturan pelaksanaan pekerjaan yg harus dilakukan oleh pegawai tidak tetap/penerima kerja dengan mendapat upah yang telah disepakati.
  6. Analisa Kebutuhan adalah suatu kajian yang dilakukan oleh pimpinan unit untuk mengetahui jumlah dan kuwalitas pegawai dalam rangka untuk mencapai daya guna dan hasil guna di unit tersebut.

BAB II
PENGADAAN FORMASI DAN PENERIMAAN PEGAWAI
Bagian Pertama
Pengadaan Formasi
Pasal 2

1)      Untuk memenuhi kebutuhan Pegawai di unit pelayanan GBKP, terlebih dahulu dilakukan analisa kebutuhan melalui rapat Pimpinan Unit Pelayanan GBKP.
2)      Hasil analisa kebutuhan diserahkan ke Moderamen secara tertulis untuk mendapat pertimbangan dan persetujuan.
3)      Pengadaan pengisian formasi pegawai dilakukan pada bulan nopember pada tahun berjalan.
Bagian Kedua
Penerimaan Pegawai
Pasal 3

1)      Moderamen GBKP mengangkat dan menetapkan panitia seleksi dengan unsur pimpinan unit  dan Moderamen GBKP.
2)      Dalam hal melakukan Penerimaan Pegawai diumumkan melalui surat edaran ke klasis-klasis dan atau melalui media GBKP Minimal 1 Bulan sebelum penerimaan dengan mencantumkan persyaratan yang dibutuhkan.
3)      Materi seleksi antara lain seleksi administrasi, tertulis dan wawancara dan atau Psikotes.
4)      Hasil seleksi diumumkan paling lama tiga minggu setelah pelaksanaan seleksi.

Bagian Ketiga
Pengangkatan
Pasal 4

1)      Terhadap Pelamar yang lulus seleksi diangkat menjadi Calon Pegawai dengan masa percobaan tiga bulan dan memperoleh gaji sesuai dengan ketentuan yang berlaku dimasing-masing Unit Pelayanan.
2)      Pengangkatan Calon Pegawai ditetapkan berdasarkan surat keputusan Pimpinan Unit yang bersangkutan.
3)      Selama masa percobaan Calon Pegawai wajib mengikuti orientasi jabatan/pekerjaan yang ditentukan oleh Pimpinan Unit dengan mendapat penghasilan 80% dari gaji pokok.
4)      Jika dalam masa percobaan calon pegawai yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan (tidak lulus) maka yang bersangkutan diberi kesempatan waktu tambahan tiga bulan masa percobaan dan dalam penambahan masa  percobaan dimaksud juga tidak memenuhi persyaratan maka yang bersangkutan tidak dapat diangkat menjadi Pegawai.
5)      Calon Pegawai yang dinyatakan lulus dalam masa percobaab diangkat menjadi pegawai dengan Surat Keputusan Moderamen.
6)      Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Moderamen maka status pegawai tersebut menjadi pegawai tetap dengan memperoleh (100%) ditambah penghasilan lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada unit yang bersangkutan

Bagian Keempat
Penempatan
Pasal 5

Penempatan Pegawai yang telah diangkat ditetapkan/diatur oleh Pimpinan Unit yang bersangkutan


BAB III
JENIS-JENIS KEPEGAWAIAN
Pasal6

Jenis-jenis Kepegawaian pada unit pelayanan adalah :
1)      Pegawai adalah mereka yang telah lulus seleksi untuk melakukan pekerjaan-perkerjan yang bersifat rutinitas dan tertentu dalam jangka waktu yang ditetapkan.
2)      Pegawai honor adalah mereka yang dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat tertentu dalam jangka waktu tertentu dan menerima honor paling lama satu tahuan.

BAB IV
KEPANGKATAN
Pasal 7

1)      Pegawai  diberi pangkat (Golongan/Ruang) dengan berpedoman kepada aturan kepangkatan Moderamen GBKP.
2)      Pegawai honor tidak diberi kepangkatan, golongan dan ruang.

BAB V
TUGAS POKOK
Pasal 8

Tugas pokok pegawai diatur dan di tetapkan oleh Pimpinan Unit Pelayanan berikut rincian uraian tugas serta dilengkapi dengan struktur organisasi yang ditetapkan dalam suatu surat keputusan pimpinan unit pelayanan.

BAB VI
PENGGAJIAN
Pasal 9

1)      Pegawai memperoleh penghasilan minimal sebesar Upah Minimum Propinsi.
2)      Dalam penggajian minimal memenuhi unsur :
a.       Gaji Pokok
b.      Tunjangan suami/istri
c.       Tunjangan Anak
d.      Tunjangan Beras
e.       Askes
f.       Tunjangan hari tua
g.      Dan tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan unit pelayanan.
3)      Pesangon diberikan kepada pegawai yang telah berakhir masa kerjanya sesuai dengan peraturan yang ada pada Unit yang bersangkutan.

BAB VII
HAK DAN KEWAJIBAN PEGAWAI
Pasal 10

1)      Untuk menetapkan hak dan kewajiban pegawai ditetapkan dalam perjanjian kerja  antara Pimpinan unit pelayanan bersama  pegawai.
2)      Untuk Pegawai Honor dibuat surat perintah kerja secara perseorangan yang isinya mengatur tentang hak dan kewajiban pekerja.

CUTI
Pasal 11

1)      Kepada pegawai yang telah mempunyai masa kerja minimal 1 (satu) tahun dapat diberi cuti tahunan selama 12 (dua belas ) hari kerja
2)      Kepada pegawai yang melahirkan diberikan hak cuti selama 3 (tiga) bulan.


BAB VIII
MUTASI
Pasal 12

  1. Mutasi hanya dapat dilakukan terhadap pegawai dalam rangka kebutuhan, pengembangan, pembinaan dan penyegaran pegawai yang bersangkutan atau kebutuhan unit.
  2. Mutasi dapat dilakukan dalam unit pelayanan, antar unit pelayanan, Moderamen ke Unit Pelayanan dan atau dari unit pelayanan ke Moderamen.
  3. Penggajian pegawai  yang dimutasikan antara unit pelayanan diberlakukan sesuai dengan ketentuan penggajian pada unit yang bersangkutan.
  4. Penggajian pegawai  yang dimutasikan dari Moderamen ke unit pelayanan diberlakukan ketentuan penggajian yang berlaku di unit bersangkutan.
  5. Penggajian pegawai tetap yang dimutasikan dari unit pelayanan ke moderamen diberlakukan ketentuan penggajian yang berlaku di Moderamen.

BAB IX
BERAKHIRNYA MASA KERJA
Pasal 13

1)      Berakhirnya masa kerja disebabkan :
a.       Permintaan sendiri/mengundurkan diri.
b.      Meninggal dunia.
c.       Melakukan tindak pidana yang memiliki kekuatan hukum tetap.
d.      Melakukan pelanggara peraturan di tetapkan dalam unit pelayanan.
e.       Sakit yang berkepanjangan sehingga tidak mampu melaksanakan pekerjaannya selama 9 bulan.
f.       Mencapai usia yang ditetapkan oleh masing-masing unit pelayanan.

2)      Ketentuan dalam pemberian pesangon ditetapkan dalam perjanjian kerja.

BAB X
KETENTUAN TAMBAHAN
Pasal 14

Terhadap unut-unit kerja yang mempekerjakan pegawainya sebelum peraturan ini berlaku, peraturan lain tetap berlaku dan selanjutnya menyesuaikan dengan peraturan ini.

BAB XI
Pasal 15

Peraturan Pokok tentang Kepegawaian di Unit Pelayanan GBKP dapat diubah dalam Sidang Kerja Sinode GBK atau sidang Sinode GBKP

BAB XII
PENUTUP
Pasal 16

Dengan ditetapkannya Peraturan Pokok Kepegawaian ini maka peraturan lain yang bertentangan dengan peraturan ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 17
Peraturan ini berlaku sejak tanggal 18 April 2010 pada Sidang Sinode GBKP di Retreat Center GBKP Sukamakmur.


                                                                                                     Kabanjahe, 25 Januari 2011

                                                                                   
MODERAMEN GEREJA BATAK KARO PROTESTAN
Ketua Umum,                                          Sekretaris Umum,




                      (Pdt.M.P.Barus,MTh)                               (Pdt.Simon Tarigan,STh)

Peletakan Batu Pertama YKPC Alpha Omega

Yayasan Kesejahteraan Penyandang Cacat (YKPC) Alpha Omega kemudian didirikan pada tanggal 21 Juli 1988. Tempat para penyandang cacat tersebut didirikan di Kabanjahe. Mereka diajari kerajinan tangan dan berladang. Ketua YKPC Alpha Omega pada saat itu Pdt. Salomo Sitepu, S.Th.

Pentahbisan Gedung Gereja Lau Simomo

Pentahbisan Gedung Gereja Lau Simomo 9 Desember 1923.
Sebahagian dana pembangunan gereja ini adalah dari persembahan para penderita kusta setempat.

Foto Pa Samel


Pada upacara ulang tahun ke-50 Ratu Wilhelmina (31 Agustus 1930), Tuan Controleur menyematkan Bintang "Trouw en Verdienste" kepada Guru Agama Pa Samel pada acara Kebaktian di Gereja Lau Simomo.

Pdt A Ginting Suka

Foto ini diambil sekitar tahun 1973 di ruang rapat NCC , 475 Riverside Drive , Manhattan, New York City. Saat itu Pdt A Ginting Suka bertugas di National Council of Churches USA 1972 sd 1974 untuk melayani berbagai denominasi gereja didaerah Pennsylvania , New Jersey , New York sebagai bagian dari Ecumenical Movement. . (From Alexander Kaliaga)

Foto JH Neumann dan Ny Neumann Bos (Karo Bataksche Zending)


Foto JH Neumann dan Ny Neumann Bos
Aturan untuk mengangkat Pertua (Penatua) disusun oleh Pdt. J.H. Neumann pada tahun 1906 dan tahun 1907 dia menerbitkan Almanak Zending yang disebut Almanak Batak.
Neumann juga menerbitkan Surat ni adat Kalak Kristen yang berisikan tentang aturan tentang batas adat dan kepercayaan animisme. Lalu tugas-tugas Penatua yang lebih banyak diatur kepada tugas pengajaran.
Injil Matius Berbahasa Karo diterbitkan (tahun 1910)
Ressort dusun (Karo Jahe) dipimpin Pdt. J.H. Neumann berkedudukan di Sibolangit
Pdt J.H. Neumann menerbitkan Kisah Para Rasul berbahasa Karo, lalu tahun 1922 menerbitkan buku Tata Bahasa Karo (Schets der Karo Batasche Spraakkunst) dan Kitab Roma berbahasa Karo.
Tahun 1928, Neumann telah selesai menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru, tahun 1936 Kitab Mazmur dan tahun 1937 dia memulai pekerjaannya untuk menerjemahkan Kitab Perjanjian Lama yaitu Kitab Kejadian, Ayub dan Yesaya. Kamus bahasa Karo – Belanda (Karo Bataks-Nederlands Woordenboek) yang dicetak tahun 1951 adalah juga hasil pekerjaannya.

Pdt A Ginting Suka (tengah) dan Pdt J Brahmana (kiri)

Pdt A Ginting Suka (tengah) dan Pdt J Brahmana (kiri)

Rumah Penginjil Pertama di Buluhawar, ditahbiskan Agustus 1891

Rumah Penginjil Pertama di Buluhawar, ditahbiskan Agustus 1891

Patung JT Cremer

Patung JT Cremer yg hidup tahun 1847 - 1923 yang menjadi koordinator pemodal tembakau di deli dan pendiri perusahaan kereta api Deli Spoor Maatschappy (sekarang PJKA). Tanggal 16 Nopember 1888 JT Cremer duduk sebagai anggota parlemen serta 1897 diangkat menjadi menteri jajahan. Foto ini tahun 1933 pada acara Jubileum 50 Tahun Deli Planters.

Alat musik yang ditinggalkan Pdt EJ van den Berg

Alat musik yang ditinggalkan Pdt EJ van den Berg di Kabanjahe. Saat ini alat musik tersebut ada di Museum GBKP di Sukamakmur.

Gendang Karo

Gendang Karo dimainkan dalam Sidang Sinode GBKP tahun 1973 di Kabanjahe.
Rumah Pekabar Injil di Kuta Jurung yang ditahbiskan pada bulan Oktober 1910

JH Neumann (Karo Bataksche Zending)

Pdt JH Neumann dan nyonya beserta murid-murid Evangelisten School 24-2-1931 : Ngatas Tarigan, Majek Karo-Karo, Negu Tarigan, Lantas Tarigan, Istepanus, Palem Karo-Karo, Geluh (Th Sibero), Saulus Karo-Karo, Juak Ginting, Keben Tarigan dan Marthin Perangin-angin

H. Guillaume (Karo Bataksche Zending)

Pdt. H. Guillaume lahir pada tahun 1865 di Vlissingen. Ia pernah menjadi militer dengan pangkat Sersan. Dia keluar dari militer karena melihat temannya cedera dan meninggal dunia pada suatu peristiwa. Dia masuk sekolah Missionaris di Jerman yaitu Rheinische Missions Gesellschaft (RMG). Setelah menyelesaikan pendidikan dia ditempatkan di Sibolga tahun 1893. Pada tahun1899 dia diutus ke Tanah Karo.

M. Joustra (Karo Bataksche Zending)

Pdt. M. Joustra berasal dari kota Bolswad daerah Frieshland, ia adalah putra seorang tukang tembaga. Pada usia 15 tahun dia masuk sekolah missionaris di Rotterdam. Ia pernah diskors sebagai siswa sekolah missionaris karena dia lebih menyenangi gerakan pembaharuan teologia modern. Atas bimbingan Pdt. Van der Meulen dan direktur NZG akhirnya dia dikukuhkan menjadi pendeta.

Jan Kornelis Wijngaarden (Karo Bataksche Zending)

Jan Kornelis Wijngaarden lahir pada tanggal 14 Agustus 1865 di Steins, Provinsi Frieshland, Negeri Belanda. Ia didorong oleh Pdt. Brugsma untuk memasuki sekolah Missionaris di Rotterdam. Setelah enam tahun belajar di sekolah missionaris, dia ditahbiskan menjadi Pendeta dan ditempatkan di Pulau Sawu, Indonesia. Tahun 1892, Kantor Pusat NZG di Rotterdam memutuskan dia pindah ke Tanah Karo. Ia meninggal tanggal 21 September 1894 di Medan.

H.C.Kruyt (Karo Bataksche Zending)

Pdt. H.C.Kruyt lahir pada tahun 1862 di Semarang, ia adalah putera Pdt. Jan Kruyt seorang penginjil ternama di Jawa Timur. Kelima saudaranya juga menjadi penginjil atau menikah dengan penginjil. Salah seorang saudaranya bernama Pdt. Albert Kruyt, terkenal dengan ide penginjilan melalui pendekatan sosiologis. Pada usia 11 tahun ia memasuki sekolah Misi NZG di Rotterdam. Pada tahun 1884 dalam umur 22 tahun ia lulus dan segera ditempatkan di Tomohon Sulawesi Utara. Pada bulan April 1889, H.C. Kruyt ditugaskan memberitakan Injil kepada masyarakat Karo di Sumatera Utara. Ia ditemani N. Pontoh seorang pemuda Minahasa yang selama ini membantu mereka di Tomohon. ini adalah foto HC Kruyt dan Ny Willemien Kruyt Light

Jumat, 27 April 2012

Bakal Purba/ Pa Mbelgah Purba (Tulisan Rev. Mehamat Wijaya Tarigan, M.Th.)

          Pada bulan Nopember 1911 Bakal Purba/ Pa Mbelgah Purba (seorang raja di Kabanjahe) dibaptis bersama istri dan anak-anaknya oleh Pdt. E.J. van den Berg. Sebelumnya Pa Mbelgah sudah belajar tentang agama Kristen selama satu tahun. Pdt. E.J. van den Berg yang langsung mengajarinya.  Tidak lama setelah pembaptisannya itu, dia dikeluarkan dari gereja karena Pdt. E.J. van den Berg melarang Bapak dari Mbelgah Purba memakai gendang Karo. Sebagai seorang pemimpin masyarakat, Pa Mbelgah Purba harus memakai gendang Karo dalam acara-acara di tengah-tengah masyarakat Karo.
            Pdt. Anggapen Ginting Suka mengatakan bahwa desa Kabanjahe pada tahun 1900-an berpenduduk mayoritas bermarga Purba dan Sembiring Brahmana. Dua tokoh dari desa itu yaitu Pa Mbelgah/ Bakal Purba dan Pa Pelita Purba. Kedua tokoh ini dikenal sebagai panglima yang memenangkan peperangan antar desa yang sering terjadi pada masa itu. Tapi kemenangan yang diperoleh tidak berdampak pada perluasan daerah kekuasaan, hanya terbatas kepada ketersohoran keperkasaan dalam peperangan.[1]
            Atas kemenangan-kemenangannya maka desa Kabanjahe dan semua marga Purba yang berasal dari desa ini selalu disanjung masyarakat Karo. Menurut Pdt. E.J. van den Berg, marga Purba yang berasal dari kabanjahe merasa dirinya anak raja. Sikap ini menurut Pdt. E.J. van den Berg membuat anak desa Kabanjahe tidak suka pekerjaan yang dianggapnya merendahkan martabatnya sebagai anak raja.[2]
            Atas dorongan Pa Mbelgah kepada Pdt. E.J. van den Berg untuk segera mendirikan sekolah. Dia sendiri menyediakan bambu dan kayu-kayu untuk bangunan dan bangku bangku-bangku sekolah. Keinginan untuk membuka sekolah ini sudah disampaikannya sewaktu Pdt. H.C. Kruyt mengunjungi Kabanjahe pada akhir tahun 1890. Maksud itu barulah tercapai pada akhir tahun 1905.
            Menurut Pdt. E.J. van den Berg, pada awalnya ia tidak berusaha mendekati Pa Mbelgah sebab ia khawatir masyarakat Karo menyamakan dirinya dengan Pa Mbelgah, yaitu tokoh perang. Atas alasan ini Pdt. E.J. van den Berg tidak mengidentifikasikan diri dengan memakai merga Purba tapi merga Sinulingga dan bebere Perangin-angin.[3]
            Merga Sinulingga adalah merga Sibayak Lingga yang pada waktu itu dianggap rakyat Karo sebagai raja utama. Pdt. E.J. van den Berg tidak mengandalkan wibawa raja tersebut untuk pekerjaanya sebagai Zendeling. Ia langsung berbaur dengan masyarakat melalui pembangunan sekolah yang pertama di Kabanjahe pada tahun 1906. Pa Mbelgah meyumbangkan kayu dan bambu untuk sekolah tersebut. Pdt. E.J. van den Berg mengunjungi orang Karo di ladang-ladang mereka seperti dalam acara menabur benih, ngerik (padi dipijak-pijak) atau melepas padi dari tangkainya. Dalam kunjungan-kunjungan tersebut ia dan istrinya membawa ikan sardencis sebagai oleh-oleh. Pendekatan Pdt. E.J. van den Berg terhadap masyarakat Karo tidak melalui tokoh masyarkat yang ada tapi langsung kepada masyarakat umumya yaitu melalui sekolah. Ada 2 Kemungkinan yang dapat dicapai yaitu anak-anak dan orangtuanya.[4]
      Sewaktu Pdt. E.J. van den Berg telah tinggal di Kabanjahe, ia tidak begitu ramah terhadap Sebayak Pa Mbelgah. Ia takut disamakan orang dengan kepanglimaan Pa Mbelgah. Namun Pa Mbelgah turut mengikuti katekisasi selama 2 tahun. Seperti orang Karo lainya Pa Mbelgah juga lebih banyak tertarik pada etika Kristen dari pada isi iman Kristen. Pada upacara setelah pembabtisnnya, ia mengatakan bahwa ia menyesali segala tindakan kekerasan yang telah ia lakukan pada waktu-waktu yang lalu dan ia tidak akan lagi mengulangi perbuatan yang sama sejak pembaptisannya. Ia berjanji untuk mengikuti kehendak Tuhan yang telah dipelajarinya tentang kepercayaan. Ia berkata dalam suatu upacara permulaan merdang (menanam benih), bahwa tidak ada kuasa lain yang membuat padi yang kita taburkan (erdangken) atau tanam bertumbuh baik kecuali oleh Allah yang adalah pencipta dan pemelihara segala sesuatu.[5]
Dengan ungkapan ini, ia telah memahami bahwa Allah itu Esa yang hanya kepadanya hidup kita tergantung. Agaknya ia bersama-sama dengan orang-orang yang dibaptiskan lainnya belum sampai kepada pemahaman tentang kuasa Roh Kudus dan kuasaNya dan tentang penebusan. Tapi suatu hal yang ia tidak dapat hindarkan adalah kebersamaan dengan kerabat dekat ataupun kaum satu desa. Mereka merasa berkewajiban mengadakan ritus-ritus keagamaan demi kesejahteraan mereka seperti ritus perumah begu atau memanggil roh orang sudah mati, upacara erpangir ku lau (ke sungai), upacara pengganti dan lain-lain. Dalam acara keagamaan, orang Karo melakukannya menurut tatanan adat sehingga dalam acara-acara tersebut unsur kekeluargaan secara lengkap harus hadir.[6]
Pa Mbelgah sebagai sibayak dan dan sebagai bagian yang terikat kepada sistem kekeluargaan selalu merasa wajib menghadiri upacara itu. Pada suatu upacara penaburan benih yang diadakan gereja yang juga dihadiri anak-anak desa yang belum beragama, ia berbicara dan mengatakan bahwa hasil ladang bukan oleh roh-roh nenek moyang tapi oleh kuasa Allah saja. Gereja memperingatinya agar ia tidak ikut lagi dalam upacara itu. Tapi ia merasa wajib ikut serta dalam upacara agama yang berproses menurut adat. Akhirnya pada tahun 1913 ia ipedauh atau dijauhkan sementara dari gereja. Pada tahun 1914 kedudukannya di gereja dipulihkan kembali. Tetapi pada tahun 1918 ia kembali dikeluarkan dari gereja (ipedauh) oleh kesalahan yang sama, dan akhirnya ia meninggal dunia pada tahun itu juga. Ia dikuburkan tanpa liturgi gerejawi. Pendeta yang melayani di Kabanjahe sewaktu Pa Mbelgah dikeluarkan dari gereja (ipedauh) pada tahun 1913 – 1915 adalah Pdt. J.P. Talens, sebab Pdt. E.J. van den Berg sedang cuti di tanah Belanda. Gereja bertindak mengeluarkan Pa Mbelgah dari gereja adalah menurut Hukum atau Disiplin Gereja pada saat itu. Tetapi disiplin yang dijalankan adalah disiplin yang belum dimengerti anggota jemaat dan masyarakat .[7]
            Misionaris menganggap bahwa di dalam gendang Karo terdapat unsur kekafiran..[8] Memang misionaris NZG membawa teologia pietisme dari Eropa ke Tanah Karo dan mereka sulit menerima Gendang Karo pada saat itu.[9] Usaha-usaha pekabaran Injil pada saat itu diwarnai oleh teologia Pietisme. Teologia ini lahir di Eropa, pada akhir abad ke-17, sebagai reaksi terhadap situasi dalam gereja-gereja Protestan. Menurut Pietisme, menerima Kristus hanya dapat terjadi melalui pertobatan pribadi, yang menjadi nyata dalam perubahan cara hidup. Peningkatan taraf kehidupan melalui pendidikan dan terutama melalui usaha memperkenalkan Kristus sehingga sebanyak mungkin orang bertobat, ini merupakan jalan untuk memberantas keburukan dalam masyarakat dan gereja. Usaha penerjemahan Alkitab harus dilakukan agar Injil lebih mudah disampaikan bagi penerimanya.[10]
            Usaha pekabaran Injil oleh Pietisme sering mengalami ”Culture Shock” pada waktu mereka tiba di lapangan. Akibatnya mereka sering menganggap kebudayaan setempat biadab dan penuh penyembahan berhala. Akhirnya mereka mendidik masyarakat setempat dengan kebudayaan Barat. Oleh sebab itu masyarakat yang tidak beragama Kristen sering menyebut agama Kristen sebagai agama Belanda. Selain itu warisan kebudayaan dari nenek moyang masyarakat yang beragama Kristen dikorbankan secara radikal. Kebudayaan setempat dianggap ”kafir”.[11] Orang-orang pribumi juga pada akhirnya segan membawa kebudayaan mereka masuk ke dalam gereja.


[1] Pdt. Anggapen Ginting Suka, Wawancara, pada hari Sabtu, 19 Juni 2010 jam 10.00 – 13.00 WIB di Jl. Pasar Baru, Medan.
[2] Ibid., Wawancara, pada hari Sabtu, 19 Juni 2010 jam 10.00 – 13.00 WIB di Jl. Pasar Baru, Medan.  
[3] Ibid., Wawancara, pada hari Sabtu, 19 Juni 2010 jam 10.00 – 13.00 WIB di Jl. Pasar Baru, Medan.  
[4] Ibid., Wawancara, pada hari Sabtu, 19 Juni 2010 jam 10.00 – 13.00 WIB di Jl. Pasar Baru, Medan.
[5] Ibid., Wawancara, pada hari Sabtu, 19 Juni 2010 jam 10.00 – 13.00 WIB di Jl. Pasar Baru, Medan.
[6] Ibid., Wawancara, pada hari Sabtu, 19 Juni 2010 jam 10.00 – 13.00 WIB di Jl. Pasar Baru, Medan.
[7] Ibid., Wawancara, pada hari Sabtu, 19 Juni 2010 jam 10.00 – 13.00 WIB di Jl. Pasar Baru, Medan.
[8] Frank L. Cooley, .Benih Yang Tumbuh 4: GBKP,Jakarta: LPDSGI, .,1976,  hlm. 5
[9] Simon Rae, Breath becomes the wind: old and new in Karo religion, University of Otago Press, 1994, hlm. 94
[10] Christiaan de Jonge, Kontekstualisasi Sebagai Sejarah, Pidato Dies Natalis ke 25 STT Jakarta, Jakarta: STT Jakarta, 1986, hlm. 35
[11] Ibid., hlm. 35

Sejarah masuknya Injil ke Tanah Karo (Tulisan Rev. Mehamat Wijaya Tarigan, M.Th.)

Periode pertama (1890-1893) disebut sebagai periode Firman Tuhan disebarkan di bumi Karo. Pada tanggal 16 Nopember 1888, anggota parlemen Belanda JT. Cremer, yang kemudian menjabat menteri, telah menganjurkan Kristenisasi orang Batak Karo. Lalu Cremer, bersama zendeling Kreemer dari Jawa Timur mendatangi direksi dari beberapa perusahaan perkebunan yang berhasil diajak agar menyumbangkan dana kepada pihak NZG,[1] untuk pelaksanaan penginjilan tersebut. Pada bulan Nopember 1889 ditandatangani suatu perjanjian antara pihak NZG dengan suatu panitia Zending Batak Karo di Amsterdam (yang mewakili perusahaan), lalu diutuslah H.C. Kruyt ke Tanah Karo.[2]
Pada tanggal 18 April 1890 Pendeta H.C. Kruyt[3] bersama Nicolas Pontoh tiba di Belawan, dan melanjutkan perjalanan ke Medan. Mereka menginap beberapa malam di Medan untuk mengadakan persiapan seperlunya. Mereka mengadakan pendekatan terhadap para penguasa di daerah ini, seperti tuan Residen W.J.M. Michielson dan Tuan Carel Westenberg, kontelir khusus untuk orang Batak. Setelah meninjau lokasi di beberapa desa di sepanjang kaki Bukit Barisan maka Pdt. H.C. Kruyt menetapkan desa Buluhawar menjadi pos penginjilannya, karena desa ini berada pada jalur lalu lintas dari dan ke dataran Tinggi Karo. Desa ini menjadi desa persinggahan para pedagang yang disebut perlanja sira.  Pada saat itu barang dagangan diangkut dengan pikulan melalui jalan setapak mendaki dan menuruni gunung dan lembah serta menyeberangi sungai-sungai. Perjalanan ini sangat melelahkan, karena itu mereka butuh persinggahan.
Pada tanggal 1 Juli 1890, Pdt. H.C. Kruyt menetap tinggal di Buluhawar atas bantuan pengulu Buluhawar (penduduk desa Buluhawar sekitar 200 jiwa). Dia tinggal di rumah yang sederhana. Dalam catatan harian Pdt. H.C. Kruyt rumah tersebut berada di antara 2 rumah dan tidak jauh dari kampung. Rumah tersebut disewa 16 dollar dubbeltje =  336 cent per bulan. Dia belajar bahasa Karo dan budaya Karo, dia memakai ikat kepala (erbulang), memakai kain sarung tenunan khas Karo (eruis), memakai selendang (cabin), ikut bergotong royong (aron), juga merawat orang-orang sakit. Ada sekitar 41 orang yang dia rawat, misalnya ada yang keracunan darah dan ada yang sakit borok. Dia mengunjungi orang-orang sakit dan memberinya obat. Bayarannya biasanya berbentuk ayam, beras, dan lain-lain.[4]
Dia memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk tidak mengisap candu dan tidak bermain judi. Dia juga menjelaskan perbedaan misi Kristen dengan kehadiran kolonial Belanda. Pemerintah Belanda tidak senang dengan penyuluhan yang diberikan Pdt. H.C. Kruyt tetapi pendeta ini tetap pada pendiriannya. Pemerintah Belanda berkeinginan agar Pdt. H.C. Kruyt tidak menjelaskan perbedaan Kolonial Belanda dengan misi Kristen, jangan melarang orang Karo menghisap candu dan jangan bergabung dengan tentara Aceh untuk melawan Belanda. Kemudian pada tanggal 23 Nopember sampai 3 Desember 1890 Pdt. H.C. Kruyt pergi meninjau dataran tinggi Karo. Pada tahun 1891 dia meninggalkan tugas zendeling lalu pergi ke Menado bersama Nicolas Pontoh untuk mencari tenaga pembantu untuk penginjilan.  Kemudian ditemukan tenaga penginjil dan ditempatkan di 5 pos pelayanan (pada setiap pos pelayanan dibuka rumah sekolah dan poliklinik di samping pelayanan Firman),  yaitu :  
1. Guru Injil Benyamin Wenas di desa Salabulan.
2. Guru Injil Johan Pinotoan di desa Sibolangit.
3. Guru Injil Richard Tampenawas di desa Pernengenen.
4. Guru Injil Hendrik Pesik di desa Tanjung Beringin.
5. Pdt. H.C. Kruyt dan Nicolas Pontoh di desa Buluhawar.[5]
Pada bulan Agustus 1891 rumah zending di Buluhawar selesai dibangun. Acara masuk rumah baru tersebut memakai adat istiadat Karo, Gendang Karo juga dipakai dalam acara itu.  Kemudian pada tanggal 19 Oktober 1891, Pdt. H.C. Kruyt bersama masyarakat membuka sekolah untuk belajar membaca dan menulis di Buluhawar.
Pada bulan Juli 1892 Pdt. H.C. Kruyt secara mendadak meninggalkan pelayanan di Buluhawar untuk belajar ilmu kedokteran di Swiss di daerah perbatasan Perancis. Dan akhirnya dia tinggal di Perancis hidup bersama-sama orang miskin dan melayani orang-orang miskin sampai akhirnya dia juga menjadi miskin dan Pdt. H.C. Kruyt meninggal di Paris.[6]
Pdt. H.C. Kruyt digantikan Pdt. J.K. Wijngaarden[7] yang dipindahkan dari Sawu ke Deli. Dia tiba di Belawan pada tanggal 3 Desember 1892. Tanggal 21 Desember 1892, Pdt. J.K. Wijngaarden menetap tinggal di Buluhawar bersama istrinya. Istrinya mengundang wanita Karo agar datang ke rumahnya. Di rumah dia sudah menyiapkan kampil yaitu suatu anyaman pandan yang berisi daun sirih, kapur, gambir, pinang, tembakau untuk keperluan makan sirih. Sambil makan sirih mereka mengadakan percakapan-percakapan.  Pdt. J.K. Winjngaarden merawat orang sakit, menginjili, memberi pelajaran, dan mengunjungi kampung-kampung sekitarnya. Di Buluhawar istrinya melahirkan seorang anak dan dinamai Cornelius. Mereka juga mengangkat seorang anak bernama Sangap.[8]
Periode ke-dua (1893-1940) disebut sebagai periode pembaptisan orang Karo. Karena pada tanggal 20 Agustus 1893, dilaksanakan pembaptisan kepada enam orang masyarakat Karo oleh Pdt. J.K. Wijngaarden, yaitu : Ngurupi bersama anaknya Pengarapen, Nuan (akhirnya menjadi Manteri Cacar yang dinamai Bapa Tuah Barus) dan Tala serta dua orang bersaudara, Tabar dan Sampai.[9]  Dan pada tanggal 4 Agustus 1894 diadakan pembaptisan kedua kepada 4 orang yaitu : Negel, Lampo, Nesei dan Sangap. Pdt. J.K. Wijngaarden meninggal pada tanggal 22 September 1894 setelah mengalami sakit perut.[10] Dan untuk sementara NZG mengirim Dina W Guittart sebagai pengganti Pdt. J.K. Wijngaarden.[11]
Rumah guru-guru Injil Minahasa selesai dibangun  antara bulan Juni dan Oktober 1893, dan masing-masing mengadakan pesta masuk rumah baru. Di desa Tanjung Beringin hadir lebih dari 400 orang. Pesta masuk rumah baru ini merupakan pesta yang paling banyak  dihadiri masyarakat Karo dari semua pertemuan yang dilakukan misionaris, alasannya karena ada persamaan dengan upacara Karo dan juga karena misionaris memotong seekor babi untuk menjamu semua tamu. Misionaris memanfaatkan kesempatan ini untuk mengkhotbahkan renungan singkat atau menceriterakan satu cerita, menyanyikan satu lagu, dan berdoa memohon berkat. Mereka juga juga menyewa pemusik Karo yang dimainkan untuk menari. Keluarga Pdt. J.K. Wijngaarden menghadiri pesta yang di Salabulan, tetapi pulang ke Buluhawar pada jam 5 sore supaya sampai di rumah sebelum gelap. Pesta berlangsung sampai tengah malam.[12] Kemudian pada tanggal 1 Januari 1898 dilakukan penahbisan rumah penginjil Benyamin Wenas di Bukum. Acara penahbisan ini dilakukan sesuai dengan budaya Karo yaitu acara mengket rumah mbaru (masuk rumah baru).
Pada tanggal 21 Nopember 1894 Pdt. M. Joustra[13] tiba di Medan, kemudian dia melapor ke kantor Deli Maatschappij (perusahaan yang membangun rumah Pdt. H. Guillaume, mengangkat barang-barang Pdt. J.H. Neumann dari Medan ke Buluhawar di kemudian hari).[14] Pdt. M. Joustra menetap di Buluhawar pada tanggal 13 Pebruari 1895 setelah serah terima pelayanan dengan Dina W. Guittart. Dina meninggalkan Buluhawar pada tanggal 31 Juli 1895 menuju Medan, pada saat melepas Dina, jemaat menyanyikan Lagu Lawes me kam mejuah-juah (Berangkatlah dengan selamat) karangan Pdt. M. Joustra (Kitab Ende-Enden GBKP Nomor 105). Dina berangkat dari Belawan menuju Belanda pada tanggal 5 September 1895. Setibanya di negeri Belanda, Dina menjadi manager asrama sekolah misi di Rotterdam.[15]
Pada akhir September 1895, seorang warga jemaat mengundang Pdt. M. Joustra untuk menanam padi di sawahnya bersama warga gereja dan anak-anak sekolah. Pendeta ini masuk ke lumpur untuk menanam padi secara beramai-ramai. Acara di akhiri dengan makan bersama dengan memakai daun pisang sebagai piringnya.  Pada tanggal 3 April 1896 diadakan Perjamuan Kudus pertama di Buluhawar yang dilayani oleh Pdt. M. Joustra. Kemudian datanglah misionaris yang lain bernama Pdt. H. Guillaume[16] tanggal 2 Mei 1899. Dia tiba di Medan yang diutus Reinische Missions Gessellschaft  ke Tanah Karo dan hal pertama yang dia lakukan adalah mengadakan pertemuan dengan pimpinan pemerintah dan penguasa perkebunan di daerah ini. Pos Pelayanannya adalah Desa Bukum. Guillaume mengadakan pelayanan Firman, pengobatan, pendidikan dan bibit tanaman seperti jeruk, kopi dan lain-lain.
Kemudian Gereja Buluhawar ditahbiskan pada tanggal 24 Desember 1899.[17]  Tahun 1899 baru 25 orang yang menjadi Kristen di desa Buluhawar, dan pada Perayaan Natal 24 Desember 1899 diadakan Kebaktian Perayaan Natal dengan bahasa Karo untuk pertama kalinya.[18] Pelayanan sudah dilakukan sesuai dengan konteks masyarakat setempat misalnya pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Pada tahun 1900 dilaksanakan Konperensi Zending pertama di Buluhawar yang dihadiri ketua Zending Dr. Gunning. Ditetapkanlah Pdt. M. Joustra bekerja dalam bidang penterjemahan Alkitab. Sementara itu Pdt. J.H. Neumann (tanggal 21 April 1900 tiba di Buluhawar) bersama Pdt. H. Guillame yang ditugaskan untuk melakukan pelayanan Ressort. Selain itu Guru Agama Martin L. Siregar tenaga utusan dari Rheinische Missions Gessellschaft (RMG) ditempatkan di desa Bukum.  Sekolah juga didirikan di Pernengenen dan gurunya bernama Kelin, adalah putra daerah setempat. Rumah Sakit Zending juga didirikan di Sibolangit (1901). Ibadah pemberkatan perkawinan pertama diadakan di desa Tanjung Beringin (1902) dilayani oleh Pdt. J.H. Neumann.[19]
Pelayanan pendidikan semakin maju. Masyarakat sudah mulai menyadari arti pendidikan. Malap dan Muat mengajar di desa Tanjung Beringin dengan dibantu oleh Guru Injil Hendrik Pesik. Tahun 1903 Pdt. E.J. van den Berg tiba di Buluhawar meneruskan pelayanan Pdt. H. Guillame (habis kontraknya dengan NZG dan kembali ke Rheinische Zending). Tahun 1904 didirikan Pos Penginjilan di Durin Sirugun. Pdt. E.J. van den Berg menetap di Kabanjahe pada tanggal 10 April  1905 karena pos penginjilan sudah didirikan di Kabanjahe.[20] Pada tahun 1906 diadakan pencacahan jiwa di tanah Karo dan hasilnya didapat jumlah penduduk Karo sebanyak 70.331 orang.[21]
Aturan untuk mengangkat Pertua (Penatua) disusun oleh Pdt. J.H. Neumann pada tahun 1906 dan tahun 1907 dia menerbitkan Almanak Zending yang disebut Almanak Batak. Neumann juga menerbitkan Surat ni adat Kalak Kristen yang berisikan tentang aturan tentang batas adat dan kepercayaan animisme. Lalu tugas-tugas Penatua yang lebih banyak diatur kepada tugas pengajaran.
Kemudian lonceng gereja mulai dikenal oleh jemaat, lonceng dipasang di rumah Pdt. E.J. van den Berg karena belum ada gedung gereja di Kabanjahe. Rumah Sakit Kusta di Lau Simomo didirikan pada tanggal 25 Agustus 1906 (pasiennya berjumlah 116 orang[22]). Tahun 1907 mobil pertama yaitu mobil milik J.Th. Cremer tiba di Kabanjahe karena telah dibangun jalan raya dari medan ke Kabanjahe. Pada kesempatan ini Cremer memerikan sumbangan kepada Rumah Sakit Kusta Lau Simomo berupa dana pembangunan ruangan tempat tinggal pasien dan sebuah kamar tempat pasien dirawat. 
Tenaga pendeta juga ditambah yaitu Pdt. L. Bodaan (di Buluhawar tahun 1909).[23]   Injil Matius Berbahasa Karo diterbitkan (tahun 1910), Ressort dibagi tiga yaitu Ressort dusun (Karo Jahe) dipimpin Pdt. J.H. Neumann berkedudukan di Sibolangit, Ressort Kutajurung dipimpin Pdt. L. Bodaan berkedudukan di Kutajurung dan Ressort Dataran Tinggi dipimpin Pdt. E.J. van den Berg berkedudukan di Kabanjahe. Tahun 1911 Pdt. E.J. van den Berg membaptis keluarga Pa Mbelgah Purba (raja di Kabanjahe) dan tidak lama setelah itu Pa Mbelgah dikeluarkan dari gereja karena memakai Gendang Karo dalam acara-acara kemasyarakatan.  
Pada tahun 1922 didirikan pos penginjilan di Langkat di Kuala Murak Bahorok. Tahun 1916 Pdt J.H. Neumann menerbitkan Kisah Para Rasul berbahasa Karo, lalu tahun 1922 menerbitkan buku Tata Bahasa Karo (Schets der Karo Batasche Spraakkunst) dan Kitab Roma berbahasa Karo. Tahun 1928, Neumann telah selesai menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru, tahun 1936 Kitab Mazmur dan tahun 1937 dia memulai pekerjaannya untuk menerjemahkan Kitab Perjanjian Lama yaitu Kitab Kejadian, Ayub dan Yesaya.[24] Kamus bahasa Karo – Belanda (Karo Bataks-Nederlands Woordenboek) yang dicetak tahun 1951 adalah juga hasil pekerjaannya.[25]
Tahun 1924 didirikan sekolah Guru Agama di desa Raya (sebuah desa yang letaknya antara Berastagi dan Kabanjahe) karena sekolah-sekolah sudah membutuhkan Guru Agama Kristen. Gedung GBKP Kabanjahe juga selesai dibangun pada tanggal 12 Juli 1925. Sekolah Malam untuk putri juga didirikan di Perbesi oleh orangtua dari Tamangena Sebayang pada tanggal 8 Oktober 1925 dengan mata pelajaran : Agama Kristen dan Nyanyian Pujian, Etika Kristen Karo, Baca Tulis dan Berhitung, dipelajari juga Surat Batak. Sekolah Evangelis juga dibuka di Raya (desa di antara Berastagi dan Kabanjahe) pada tahun 1926.[26] Tahun 1926 sudah ada 1500 orang yang dibaptis. Dan tahun 1934 sudah ada 4189 orang Kristen di tengah-tengah masyarakat Karo.[27]
Pada periode ini nampak perkembangan pelayanan bukan hanya pertambahan jumlah orang Karo yang dibaptis tetapi juga pelayanan ke tengah-tengah masyarakat Karo sudah dilakukan seperti membagi 3 resort pelayanan, mendirikan Rumah Sakit Kusta dan mendirikan Sekolah Evangelis. Pendidikan untuk kaum wanita juga mulai diperhatikan (1925).
Periode ke-tiga (tahun 1940- 1950) ini disebut sebagai periode kemandirian GBKP karena pada periode ini kepemimpinan GBKP beralih dari orang Belanda kepada orang Karo. Pada tanggal 18 April 1940 diadakan pesta jubileum 50 tahun penginjilan NZG di Tanah Karo. Dan tanggal 23 Juli 1941 diadakan Sidang Sinode I GBKP di Sibolangit dan pada saat itu ditahbiskan Pendeta pertama GBKP yaitu Pdt. Th. Sibero dan Pdt. P. Sitepu. Selain Pendeta pada saat itu sudah ada 35 orang Guru Agama.  Pada  Sidang Sinode ini dipilih pengurus Hoofbestuur (Pengurus Sinode GBKP yang dinamai Moderamen[28]) yang pertama yang diketuai Pdt. J. van Muylwijk. Tata Gereja pertama memakai bahasa Belanda dibuat pada Sidang Sinode ini dan diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1942. Dengan demikian terjadilah peralihan dari pelayanan NZG menjadi pelayanan gereja yang beraliran Calvinis. Pada saat itu GBKP diharapkan menjadi gereja yang mandiri.
Pada bulan Juni 1943 pemuda Karo beramai-ramai menjadi tentara Jepang yang diberi nama Giyugun atau Hei Ho. Jemaat pada saat itu hidup dalam kekurangan. Masyarakat disuruh tentara Jepang untuk menyembah Matahari setiap pagi tapi banyak masyarakat yang menolak untuk melakukannya karena bertentangan dengan iman Kristen.[29] 
Pada tanggal 23 September 1943 diadakan Sidang Sinode II di Sibolangit dan terjadi peralihan kepemimpinan dari orang Belanda kepada orang Karo, GBKP dipimpin Pdt. Th. Sibero.[30] Pada periode ini Sinode GBKP sudah dibentuk dan awalnya dipimpin pendeta Belanda yang akhirnya diserahkan kepada pendeta Karo.
Jemaat menunjukkan keberaniannya menunjukkan imannya dengan menentang pemerintahan Jepang (dengan tidak mau menyembah Matahari). Pada periode ini masyarakat Karo hidup dalam kekurangan, kurang dalam bidang pendidikan dan ekonomi.
Periode ke-empat (1950-1970) disebut sebagai periode pembangunan kembali GBKP. Pada tanggal 4-5 April 1950 diadakan Sidang Sinode GBKP IV di Kabanjahe dan dalam sidang ini dibahas supaya GBKP mendirikan Sekolah Guru Agama, lalu dibicarakan pengambilalihan rumah Sakit Zending, Sidang Sinode memutuskan untuk ikut Sidang Raya DGI 21-28 Mei 1950.
Pada bulan September 1953 Anggapen Ginting Suka diutus untuk mengikuti pendidikan Theologia di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta. Ini menunjukkan bahwa GBKP mulai mempersiapkan tenaga pendeta melalui jalur pendidikan teologia. Selain itu pengurus pelayanan kaum ibu (Moria) dibentuk pada tanggal 16 Oktober 1957. Tahun 1960 dibuat aturan tentang tata cara pengangkatan Diaken dan tugas-tugas Diaken yeng lebih banyak kepada tugas pelayanan. Kemudian untuk mempersiapkan pemuda-pemudi gereja dalam hal beriman kepada Tuhan disusunlah buku pedoman Katekisasi. Pada periode ini juga disusun Tata Ibadah GBKP. Demikian juga untuk meningkatkan ekonomi jemaat dibangun proyek sapi Gelora Kasih Patumbak yang dilaksanakan pada tahun 1965 tetapi gagal karena kurang perencanaan. Pada tahun 1965 banyak diadakan baptisan massal karena masyarakat Karo takut dituduh mengikut PKI.[31]
Kemudian pada tanggal 18 April 1965 diadakan Jubileum 75 Tahun GBKP.[32] Pada saat itu anggota GBKP telah mencapai 35.000 jiwa.[33] Periode ini ditandai dengan adanya orang Karo aktif dalam Partai Nasional yang besar di Sumatera Utara. Gereja dan masyarakat Karo tetap pro-Pemerintah dan tidak ikut pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Akan tetapi pada tahun 1960-1965 orang Karo bukan hanya banyak yang menjadi anggota PNI tetapi juga anggota PKI. Oleh sebab itu pada Jubileum 75 Tahun GBKP (1965) GBKP mengeluarkan dua pernyataan yaitu mengenai kemanusiaan dan kedua menyatakan bahwa gereja bukan partai politik.[34]
Kemudian dalam Sidang Sinode 1966 diputuskan bahwa gendang Karo dapat dipakai dalam acara gereja. Dalam Sidang Sinode ini diputuskan untuk memberikan kesempatan kepada majelis gereja untuk membicarakan boleh tidaknya memakai gendang Karo dalam acara-acara di gereja masing-masing. Hasilnya adalah ketidakseragaman dalam GBKP untuk memecahkan masalah ini pada saat itu. Masing-masing majelis gereja berbeda-beda tanggapannya tentang pemakaian gendang Karo.[35] Ada Majelis gereja yang mengatakan boleh memakai gendang Karo dalam ibadah GBKP dan ada yang mengatakan tidak boleh.
Periode kelima (tahun 1970 hingga 2010) disebut sebagai Masa Peningkatan Pelayanan yang berfokus pada Tri Tugas Gereja. Pada Periode ini Kursus Wanita Karo (KWK) di Berastagi diresmikan (tanggal 2 Pebruari 1971). Ini menggambarkan bahwa pendidikan bukan hanya hak kaum pria tetapi juga hak kaum wanita.
Sidang Sinode XXII diadakan di Kabanjahe pada tanggal 23-28 Mei 1971 dan disusun Tata Gereja yang keenam. GBKP bekerja atas tiga tingkat yaitu :
  1. Jemaat yang dipimpin oleh Majelis Jemaat
  2. Klasis yang dipimpin oleh Badan Pekerja Klasis
  3. Sinode yang dipimpin oleh Moderamen
Pada saat Sidang Sinode ini, GBKP menyatakan dirinya sebagai gereja Presbiterial Synodal. Pada tahun 1971 jemaat GBKP sudah berjumlah 94.085 jiwa.
Pada tanggal 11 Nopember 1972 diadakan pembongkaran kuburan Pdt. J.K. Wijngaarden di pekuburan Kristen Jalan Pemuda Medan serta kuburan Pdt. J.H. Neumann di jalan Jamin Ginting Km. 4,5 Padang Bulan. Kemudian esok harinya tanggal 12 Nopember dilakukan penguburan ulang di Sibolangit dan kuburan ini dinamai Tanda Peringatan Pekabaran Injil Pertama ke Tanah Karo.[36] 
Toko Buku GBKP diresmikan pada tanggal 19 Oktober 1983 di Kabanjahe oleh Moderamen GBKP (Pdt. Anggapen Ginting Suka). Toko buku ini didirikan untuk mendukung pekerjaan Pekabaran Injil melalui bahan bacaan. Sekitar tahun 1984 diterbitkan Alkitab berbahasa Karo oleh LAI. Selain memberitakan Injil, GBKP juga mendirikan Parpem GBKP dan (Parpem GBKP) menerima anugerah Kalpataru dari Presiden Soeharto pada tanggal 6 Juni tahun 1985. Pada saat itu, Presiden mengatakan bahwa Pembangunan tidak boleh bertentangan dengan lingkungan hidup.
GBKP juga memperhatikan para penyandang cacat. Kemudian Yayasan Kesejahteraan Penyandang Cacat (YKPC) Alpha Omega kemudian didirikan pada tanggal 21 Juli 1988. Tempat para penyandang cacat tersebut didirikan di Kabanjahe. Mereka diajari kerajinan tangan dan berladang. Ketua YKPC Alpha Omega pada saat itu Pdt. Salomo Sitepu, S.Th.
Perayaan Jubileum 100 Tahun GBKP diadakan di Taman Jubileum GBKP pada tanggal 18 April 1990 yang dihadiri + 100.000 orang. Kata sambutan disampaikan oleh Menteri Agama Munawir Sadzali, Gubsu Raja Inal Siregar dan Pdt. J.P. Sibero, M.Th. sebagai Ketua Moderamen pada saat itu. Akan tetapi tidak lama setelah Jubileum 100 tahun GBKP terjadi kemelut di GBKP. Maka diadakanlah Sidang Sinode Luar Biasa pada tanggal 23-26 Juli 1991 di Kabanjahe dan ditetapkan Pdt. E.P. Gintings menjadi Ketua Moderamen.
Untuk membantu perekonomian masyarakat didirikanlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Pijerpodi Kekelengen yang diresmikan di Suka Makmur pada tanggal 11 Januari 1993 oleh Moderamen GBKP. Pemimpinnya pada saat itu adalah MP. Ambarita bersama 20 orang staf. Modal pertama pada saat itu sejumlah Rp. 72.000.000,-.  Pada tanggal 26 Agustus 1995 diadakan Musyawarah Pelayanan Kaum Bapa (dinamai Mamre GBKP) dan tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi Mamre.[37]
Kemudian pada tanggal 24 April – 1 Mei 2000 diadakan Sidang Sinode GBKP ke 32 di Retreat Center Taman Jubileum GBKP dan terpilih Pdt. Jadiaman Perangin-angin, D.Th. menjadi Ketua Umum Moderamen. Pada Sidang Sinode ke 32 ini GBKP memutuskan untuk mempelajari kembali apa dan bagaimana sebenarnya gereja yang beraliran Calvinis untuk dipraktekkan dalam GBKP.
Kemudian Sidang Sinode ke 33 diadakan pada tanggal 10-17 April 2005 di Retreat Center Sukamakmur dan ketua Moderamen terpilih kembali Pdt Jadiaman Perangin-angin, D.Th. dan pada Sidang Sinode tersebut ditetapkan Visi GBKP  yaitu :
  1. Meningkatkan peribadatan / spiritualitas
  2. Menghargai kemanusiaan.
  3. Melakukan keadilan, kebenaran, kejujuran dan kasih.
  4. Mewujudkan warga yang dapat dipercaya.
  5. Meningkatkan perekonomian jemaat.
Juga ditetapkan prioritas program, yaitu :             
  1. Tahun 2006 sebagai tahun Sumber Daya Manusia.
  2. Tahun 2007 sebagai tahun Koinonia.
  3. Tahun 2008 sebagai tahun Marturia.
  4. Tahun 2009 sebagai tahun Diakonia.
  5. Tahun 2010 sebagai tahun Kemandirian Dana. 
Pada periode ini (2005-2010), Sinode GBKP sudah terdiri dari 32 Unit Penunjang dan 20 Klasis. Persekutuan jemaat (perpulungen) dilayani oleh pendeta, pertua dan diaken. Sesuai dengan keputusan Sidang Sinode dibentuk Pengurus Perpulungen Jabu-Jabu (Pengurus Sektor Persekutuan Keluarga). Tahun 2007 didirikan sekolah pendidikan theologia untuk sarjana non theologia agar dapat dijadikan pendeta di GBKP. Sekolah ini hanya berjalan selama 3 tahun dan kemudian ditutup.
Pada periode ini gereja mulai mencari jati dirinya (aliran Calvinis). Selain itu struktur pengurus Sinode, Klasis dan Majelis jemaat berubah (keputusan Sidang Sinode tahun 2005), yang selama ini bentuknya : ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris dan seterusnya; berubah menjadi ketua, ketua bidang kesaksian, ketua bidang persekutuan, ketua bidang diakonia, dstnya. Dengan demikian tugas Ketua Umum Moderamen adalah memperhatikan dan melaksanakan Tri Tugas Panggilan Gereja dengan bekerjasama dengan Ketua Bidang masing-masing. Visi dan misi GBKP juga semakin diperjelas agar tidak kehilangan arah tujuan gereja setiap periodenya. Tahun 2010, anggota GBKP berjumlah ± 290.000 orang.[38] Ini berarti pertambahan anggota GBKP setiap tahunnya sekitar 2.416 orang, jika dihitung mulai tahun 1890 (masuknya misionaris NZG ke Buluhawar/ Tanah Karo).


[1] NZG didirikan pada 19 Nopember 1797 oleh orang-orang Kristen Belanda anggota gereja Hervormd yang dipengaruhi oleh semangat pietisme Bnd. F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, Jakarta : BPK-GM, 2006, hlm. 300
[2] SC Graaf van Randwijck, Oegstgeest, Jakarta : BPK-GM, 1989, hlm. 561
[3] Pdt. H.C.Kruyt lahir pada tahun 1862 di Semarang, ia adalah putera Pdt. Jan Kruyt seorang penginjil ternama di Jawa Timur. Kelima saudaranya juga menjadi penginjil atau menikah dengan penginjil. Salah seorang saudaranya bernama Pdt. Albert Kruyt, terkenal dengan ide penginjilan melalui pendekatan sosiologis. Pada usia 11 tahun ia memasuki sekolah Misi NZG di Rotterdam. Pada tahun 1884 dalam umur 22 tahun ia lulus dan segera ditempatkan di Tomohon Sulawesi Utara. Pada bulan April 1889, H.C. Kruyt ditugaskan memberitakan Injil kepada masyarakat Karo di Sumatera Utara. Ia ditemani N. Pontoh seorang pemuda Minahasa yang selama ini membantu mereka di Tomohon. Bnd. P. Sinuraya, Op.Cit., Diakonia GBKP Jilid 6, hlm. 26-27
[4] H.C.Kruyt,  ”Berichten van Br. H.C. Kruijt, te Bulo-Haur”, dalam : Maanbericht van het Nederlandsche Zendeling Genootcchap, Dagboeken, Verslagen en Brieven uit de Zending, diterjemahkan oleh : Elisabeth Br. Meliala & Magdalena Broun Br. Pelawi,  Medan: stensilan, t.th., hlm. 43-44.
[5] P. Sinuraya, Cuplikan Sejarah Penginjilan kepada Masyarakat Karo, Medan: Berkat Jaya, 2002, hlm.4
[6] Ibid., hlm.7
[7] Jan Kornelis Wijngaarden lahir pada tanggal 14 Agustus 1865 di Steins, Provinsi Frieshland, Negeri Belanda. Ia didorong oleh Pdt. Brugsma untuk memasuki sekolah Missionaris di Rotterdam. Setelah enam tahun belajar di sekolah missionaris, dia ditahbiskan menjadi Pendeta dan ditempatkan di Pulau Sawu, Indonesia. Tahun 1892, Kantor Pusat NZG di Rotterdam memutuskan dia pindah ke Tanah Karo. Ia meninggal tanggal 21 September 1894 di Medan. Bnd. P Sinuraya, Op.Cit., Diakonia GBKP Jilid 6, hlm. 42-43
[8] J.K. Wijngaarden, Uit het laats door ons ontvangen schrijven van Br. Wijngaarden”, dalam : Maandbericht van het Nederlandsche Zendeling Genootschap, diterjemahkan oleh : Magdalena Broun Br. Pelawi, Medan: stensilan, t.th., hlm.181-183.
[9] Ibid., hlm. 181-183                  
[10] Ibid., hlm. 194
[11] P. Sinuraya, Op.Cit., Cuplikan Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo, hlm.10
[12] Rita Smith Kipp, Op.Cit., hlm. 112
[13] Pdt. M. Joustra berasal dari kota Bolswad daerah Frieshland, ia adalah putra seorang tukang tembaga. Pada usia 15 tahun dia masuk sekolah missionaris di Rotterdam. Ia pernah diskors sebagai siswa sekolah missionaris karena dia lebih menyenangi gerakan pembaharuan teologia modern. Atas bimbingan Pdt. Van der Meulen dan direktur NZG akhirnya dia dikukuhkan menjadi pendeta. Bnd. P. Sinuraya, Op.Cit., Diakonia GBKP Jilid 6, hlm. 68-69
[14] S.C. Graaf van Randwijck, Op.Cit., hlm. 562
[15] P. Sinuraya, Op.Cit., Diakonia GBKP Jilid 6, hlm. 65
[16] Pdt. H. Guillaume lahir pada tahun 1865 di Vlissingen. Ia pernah menjadi militer dengan pangkat Sersan. Dia keluar dari militer karena melihat temannya cedera dan meninggal dunia pada suatu peristiwa. Dia masuk sekolah Missionaris di Jerman yaitu Rheinische Missions Gesellschaft (RMG). Setelah menyelesaikan pendidikan dia ditempatkan di Sibolga tahun 1893. Pada tahun1899 dia diutus ke Tanah Karo. Bnd. P. Sinuraya, Ibid., hlm. 81.
[17] P. Sinuraya, Op.Cit., Cuplikan Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo, hlm. 15
[18] Ulrich Beyer, Und Viele Wurden Hinzugetan, Verlag UEM Wuppertal, diterjemahkan oleh : Matius Panji Barus, 1982, hlm. 22-23
[19] P. Sinuraya, Op.Cit., Cuplikan Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo,  hlm.17-18
[20] Ibid., hlm., 19-22
[21] Bataksch Instituut, Omzendbrief en Statuten, Elisabeth Br. Meliala (Pent.), Medan: stensilan, t.th., hlm. 6.
[22] Paul Bodholdt Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, Jakarta: BPK-GM, 1975, hlm.130
[23] P. Sinuraya, Op.Cit., Cuplikan Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo,  hlm.26
[24] Ibid., hlm. 27-40 
[25] J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Laidjdecker, Jilid 2, Jakarta : LAI, 2006, hlm. 338
[26] P. Sinuraya, Op.Cit., Cuplikan Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo, hlm. 42-46
[27] Paul Bodholdt Pedersen, Op.Cit., hlm.133
[28] Moderamen adalah orang-orang yang terpilih menjadi pimpinan persidangan (Moderator). GBKP menyamakan arti Sinode dengan Moderamen  Bnd. Tata Gereja GBKP Tahun 2005-2015, Kabanjahe: Abdi Karya, 2005, hlm. 24  
[29] P. Sinuraya, Op.Cit., Cuplikan Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo,  hlm. 98-103        
[30] Ibid., hlm. 104-166                                                                
[31] F.L. Cooley, Op.Cit., hlm.109
[32] P. Sinuraya, Cuplikan Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo,  hlm. 104-166     
[33] Walter Lempp, Benih Yang Tumbuh XII, Semarang: Perc. Satya Wacana, 1976, hlm.39
[34] F.L. Cooley, Op.Cit., Benih Yang Tumbuh 4,  hlm.131
[35] Ibid., hlm.130
[36] P. Sinuraya, Op.Cit., Cuplikan Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo,  hlm. 172
[37] P. Sinuraya, Op.Cit., Cuplikan Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo, hlm 165-238.
[38] Moderamen GBKP, Laporan Umum Moderamen GBKP ke Sidang Sinode di Sukamakmur 11-18 April 2010, hlm. 5